Monday 5 October 2009

PATAHAN LEMBANG MENYIMPAN ANCAMAN

acejuara'site
PATAHAN LEMBANG MENYIMPAN ANCAMAN
Friday, 17 July 2009 14:51
Potensi Bencana

Minggu pagi, 24 September 2000. Warga Bandung dikejutkan gempa bumi berkekuatan kurang dari lima pada skala Richter. Gempa itu merobohkan beberapa rumah di Gegerkalong (Kota Bandung) dan Lembang (Kab. Bandung Barat). Gempa itu tak urung menimbulkan kepanikan warga. Wajar jika warga khawatir, belum pernah terjadi gempa bumi besar di cekungan Bandung. Gempa bumi besar yang pernah tercatat terjadi pada 1910 di Padalarang.

Beberapa analisis ilmiah menyebutkan, potensi gempa bumi yang merusak terletak pada jalur patahan yang aktif. Salah satu patahan yang dikhawatirkan menimbulkan bencana besar adalah Patahan Lembang. Prediksi ilmuwan menyebut, jika Sesar Lembang aktif kembali, diperkirakan mampu mengakibatkan gempa bumi hingga berkekuatan 6,9 hingga 7 pada skala Richter di Kota Bandung.

Bukannya hendak mendahului takdir, bagaimana kalau bencana yang diprediksi itu benar-benar terjadi? Padahal, di lereng-lereng Sesar Lembang, kini telah dipadati penduduk. Tidak hanya itu, di sana juga mulai menjamur tempat-tempat hiburan yang menjadi tujuan wisatawan dari berbagai penjuru nusantara.

Bayangkan jika Patahan Lembang bergerak kembali? Bagaimana jika suatu saat jalur sesar itu bergeser kembali? Gempa bumi sebesar apa yang akan melanda kawasan itu? Berapa jiwa yang terancam jiwanya? Apa yang terjadi dengan lereng-lereng yang menjulang itu?

**

LANTAS, apa yang bisa dilakukan? Bermigrasi segera? Itu bukan jawaban yang tepat. Sebab, setiap tempat memiliki tingkat kerawanan bencana tersendiri. Mitigasi, itulah yang diperlukan.

Budi Brahmantyo dari Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) mengatakan, mitigasi merupakan upaya untuk meminimalkan risiko bencana alam. Dan, itulah yang harus segera dimulai. Apalagi, hingga saat ini tidak ada alat yang bisa memprediksi kapan bencana terjadi. Yang diharapkan dari mitigasi adalah, "Begitu merasakan adanya gerakan, masyarakat sudah tahu langkah apa yang harus diambil."

Oleh karena itu, sudah seharusnya masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana memiliki pengetahuan cukup mengenai mitigasi. "Tentu tidak ada yang menginginkan terjadinya bencana," katanya.

Ya, soal mitigasi, barangkali masyarakat tidak bisa hanya bertumpu kepada pemerintah. Pada banyak bencana, korban yang jatuh sangat banyak. Satuan koordinasi pelaksana bencana alam baru bergerak ketika bencana sudah mengakibatkan korban. Harus diakui, soal mitigasi ini masih lemah. Bandingkan saja dengan Jepang yang juga memiliki potensi gempa yang besar. Namun, kesiapan mitigasinya "berhasil" meminimalkan jumlah korban yang jatuh saat bencana terjadi.

"Oleh karena itu, seharusnya semua orang mengenali kota tempat tinggalnya. Dengan demikian, mereka bisa mengenali potensinya pula, termasuk potensi bencananya," kata Budi.

Hal senada disampaikan oleh T. Bachtiar dari Masyarakat Geografi Indonesia. Mengenali bentang alam tempat yang didiami akan memudahkan masyarakat memahami pentingnya mitigasi. "Sehingga, ketika bencana itu terjadi, masyarakat tidak panik," katanya.

**

BACHTIAR menyebut contoh sederhana sebagai salah satu bukti ketidaksiapan Kota Bandung dan sekitarnya dalam mitigasi. Bangunan-bangunan, seperti mal, hotel, dan sebagainya, tak menyediakan petunjuk jalur-jalur evakuasi ketika sewaktu-waktu bencana terjadi. Paling banter, mereka menyediakan tangga darurat.

"Menurut kami, minimal, di setiap gedung harus ada denah. Denah itu menunjukkan jalur evakuasi apabila terjadi sesuatu. Dengan denah itu, setiap orang tahu di mana tempatnya saat ini. Mereka juga akan tahu jalur mana yang harus ditempuh untuk mengevakuasi dirinya," tutur Bachtiar. Denah tersebut, utamanya, penting bagi tempat-tempat wisata serta hotel-hotel. Mengingat di sana banyak wisatawan yang belum familiar dengan tempat yang sedang dikunjungi.

Bachtiar menjelaskan, seharusnya, pemerintah harus mulai membuat prosedur tetap (protap) yang ditempuh saat terjadi bencana. Protap tersebut berbeda-beda bagi setiap unsur masyarakat. "Protap untuk warga biasa berbeda dengan protap ketua RT/RW, polisi, juga pemda. Jadi, ketika bencana terjadi, semua unsur masyarakat itu bisa bergerak sesuai dengan fungsinya masing-masing. Hal semacam itu yang saat ini belum ada," katanya.

Langkah lainnya, soal mitigasi ini bisa dimasukkan pada pelajaran sekolah. "Kalau sekarang, guru geografi otomatis sudah memberikan. Tetapi, bagaimana dengan yang lain," kata Bachtiar.

**

DENGAN potensi bencana yang dimilikinya, kata Budi Brahmantyo, Kota Bandung seharusnya menjadi pelopor dalam hal mitigasi tersebut. "Bisa menjadi contoh untuk kota-kota yang lain," ujarnya.

Ia mengatakan, menanamkan pentingnya mitigasi bisa ditempuh melalui geowisata. Dengan itu, masyarakat akan mengenal lebih jauh kondisi alam daerahnya. "Potensi apa yang tersimpan di balik keindahan alam itu," katanya. Jika sudah mengenali alam, pikiran untuk merusak alam tentu tidak akan terlintas.

Manusia tak akan pernah tahu kapan alam akan menggeliat lalu menimbulkan bencana. Maka, berkarib-kariblah dengan alam. (Catur Ratna Wulandari/"PR") ***

Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Jum'at 17 Juli 2009

0 komentar:

Post a Comment

acejuara'site comment

 

ace juara's site Blak Magik is Designed by productive dreams for smashing magazine Bloggerized by Ipiet Blogger Templates © 2008